Sejak menonton film moneyball pertama kali, aku tertarik dengan konsepnya. Semenjak itu aku mencari tahu konsep moneyball dan membayangkan kalau banyak tim sepakbola menerapkan konsep tersebut. Film tersebut berdasarkan kisah nyata tentang tim baseball (Oakland Athletics) yang harus menjual para pemain bintangnya karena perlu pemasukan dari penjualan pemain untuk menghidupi klubnya. Mereka melakukan hal tersebut dari tahun ke tahun. Sampai akhirnya GM (general manager) Oakland Athletics, yaitu Billy Beane menyadari bahwa ini kompetisi yang tidak adil bagi mereka. Mereka harus berkompetisi dengan tim-tim yang memiliki budget lebih besar seperti New York Yankees, Boston Red Sox, dll.
Begitu para pemain bintangnya terjual, para pencari bakat klub itu menyarankan banyak nama pemain bagus di sebuah rapat penyusunan tim untuk musim selanjutnya. Billy pun tertarik beberapa nama dan menuju salah satu tim untuk bernegosiasi membeli pemain yang dia inginkan. Tak mendapat pemain yang diinginkan, Billy malah tertarik dengan salah satu penasehat tim tersebut yang menyarankan untuk menolak menjual pemain yang disebutkan BIlly berdasarkan analisis statistiknya. Billy akhirnya tidak membeli pemain dari tim tersebut, tetapi merekrut penasehat itu. Dia adalah lulusan fakultas ekonomi yang gila baseball dan membuat data statistik setiap pemain di kompetisi berdasarkan sabermetrics. Saat rapat kembali dengan para pencari bakat untuk memutuskan daftar nama yang akan dibeli, dijual dan ditukar untuk menyusun tim, dia menjelaskan bahwa mereka perlu pemain yang menghasilkan on base percentage seperti pemain bintang yang telah mereka jual. Dan itu berarti berlawanan dengan saran seluruh pencari bakat yang menyarankan beberapa pemain bagus dan memiliki harga lebih mahal. Pemain yang ingin dibeli oleh Billy adalah hasil analisa penasihat barunya dan semua pemain tersebut bermasalah. Ada yang bermasalah dengan cara melempar (dia punya cara melempar yang lucu karena cedera lengannya tidak bisa disembuhkan), ada yang sudah terlalu tua, sudah kesulitan berlari, mereka bahkan tidak ada yang tahu bagaimana bermain di posisi first base, posisi yang ditinggalkan pemain bintangnya. Tetapi mereka memiliki satu kesamaan, on base percentage mereka tinggi dan harga mereka murah karena tidak banyak tim yang menginginkan karena dianggap punya masalah dalam pandangan dunia baseball pada umumnya saat itu.
Rencana Billy untuk menerapkan moneyball tidak berjalan mulus di awal, bahkan ia sampai menerima banyak kekalahan beruntun di beberapa pertandingan awal. Hal ini dikarenakan pelatih tim lebih mengandalkan pemain terbaiknya - pemain bintang tersisa dari musim sebelumnya - dibandingkan strategi menggunakan pemain hasil racikan moneyball yang sudah didesain Billy. Hal ini memaksa dia menjual pemain tersebut karena membuat strategi Billy tidak bisa berjalan dengan baik. Tanpa adanya pemain tersebut, si pelatih tidak punya jalan lain, selain menjalankan strategi yang sudah didesain Billy. Akhirnya Athletics meraih kemenangan demi kemenangan, bahkan memecahkan rekor dengan 20 kemenangan beruntun. Di film ini diceritakan bahwa kesuksesan terbesar moneyball adalah menjadikan salah satu tim dengan total gaji pemain terendah meraih kemenangan yang hampir sama banyaknya dengan tim besar.
Moneyball sendiri adalah semacam metode menganalisa pemain berdasarkan indikator sabermetrics seperti on base percentage, slugging percentage, dll. Sedangkan metode analisa tradisional adalah menggunakan pencari bakat yang melihat kecepatan berlari, teknik memukul pemain, dll. Kalau di sepakbola, indikator moneyball seperti rasio gol, rasio umpan, rasio operan, rasio duel, rasio tackle, dll. Tetapi sayangnya rasio tersebut akan bergantung pada filosofi permainan tim. Kalau tim tersebut bermain bola-bola panjang, rasio operan pemain bisa rendah. Sedangkan kalau memainkan penguasaan bola, rasio operan bisa tinggi dengan pemain yang sama. Bisa dilihat dari rasio operan para pemain Liverpool di era Kenny Daglish (rendah) dan Brendan Rodgers (tinggi). Kenapa mengambil contoh Liverpool? Karena Liverpool sudah mengadopsi moneyball dan memiliki pemilik yang sama dengan Boston Red Sox, yaitu FSG (Fenway Sport Group). Boston Red Sox sudah mengadopsi moneyball setelah kesuksesan Athletics, bahkan mereka telah menjadikan Bill James, penemu moneyball, sebagai penasihat mereka. Salah satu hal yang sangat menarik dari moneyball adalah mereka mampu menjelaskan kemampuan pemain berdasarkan analisa statistik, ilmiah dan memiliki peluang sukses untuk meraih kemenangan dengan moneyball sangat besar dan kalaupun gagal, mereka bisa mendapat penjelasan secara ilmiah kenapa gagal. Berbeda dengan teknik tradisional yang kesuksesan dan kegagalan pemain sulit dijelaskan secara ilmiah. Billy (GM Athletics) sendiri merupakan salah satu calon pemain bintang baseball di masa mudanya, menurut prediksi para pemandu bakat tradisional. Namun, Billy gagal total di baseball. Billy memiliki kecepatan, teknik memukul baik dan mampu bermain di semua posisi baseball dengan baik. Tetapi berdasarkan indikator moneyball, Billy tidak sehebat itu dan dia bahkan seharusnya bukan pada posisi first base.
Sekarang mari kita melihat bagaimana pencari bakat tradisional di sepakbola bekerja. Pencari bakat memanfaatkan pengalaman mereka melihat bakat selama puluhan tahun, bahkan semenjak mereka bermain sepakbola. Begitu melihat seorang pemain, dia akan tahu dalam sekian menit bahwa pemain tersebut berbakat atau tidak. Disitu, pikiran bawah sadarnya bekerja. Kemudian mereka mencoba memastikan kebenaran pikiran bawah sadarnya dengan memproses lebih lanjut menggunakan indikator seperti kecepatan, kemampuan membawa bola, kemampuan merebut bola, stamina, power, dll. Peran pencari bakat inilah yang masih sangat besar di sepakbola, karena mereka juga bisa menilai bahwa pemain tersebut cocok untuk gaya permainan sepakbola seperti apa. Ya, berbeda dengan baseball dimana setiap pemain bisa memiliki statsitik sama di tim berbeda, statistik pemain sepakbola bisa sangat berbeda di setiap tim yang dia bela, tergantung gaya bermain tim tersebut. Dan bagus tidaknya pemain tersebut bisa dipengaruhi oleh gaya main yang diusung tim tersebut. Hal inilah yang menjadikan monyeball belum efektif di Liverpool atau mereka salah memilih pemain yang cocok untuk gaya main mereka. Mari kita telaah lebih jauh.
Di sepakbola, sebuah tim harus menentukan bagaimana cara bermain yang diinginkan. Seperti serangan balik ala Jose Mourinho, serangan sayap ala Sir Alex Ferguson, umpan terobosan satu dua ala Arsene Wenger, tiki-taka ala Pep Guardiola, penguasaan bola ala Brendan Rodgers, bola panjang ala Tony Pulis, atau counter pressing ala Jurgen Klopp. Kemudian cara bermain tersebut direfleksikan ke indikator-indikator yang harus dimiliki pemain di setiap posisi untuk mendukung filosofi permainan tim. Saat era Brendan Rodgers, Liverpool terlihat kesulitan memainkan penguasaan bola. Ya, karena para pemainnya tidak terbiasa menggunakan gaya permainan tersebut. Bahkan Steven Gerrard, sesekali membuat kesalahan operan yang berujung gol untuk lawan dan menyebabkan seringnya ia dicadangkan di musim terkahirnya. Fakta bahkan menunjukkan bahwa penguasaan bola semakin berkurang di musim terakhir Brendan Rodgers¹. Karena para pemain baru yang dia miliki lebih bagus duel di udara daripada memainkan penguaasan bola, seperti Benteke. Ingin memainkan penguasaan bola membutuhkan pemain yang benar-benar berbakat dan seringkali harganya mahal. Sedangkan Liverpool memiliki keterbatasan dana untuk membeli dan menggaji pemain bintang yang memiliki penguasaan bola bagus seperti Messi, Ander Herrera, Mata, Silva, dll.
Begitu Suarez pindah dan Sturridge sering mengalami cedera kambuhan di musim berikutnya, peringkat akhir musim mereka jeblok dari peringkat 2 ke 6. Untuk menggantikan Suarez, mereka membeli Mignolet, Balotelli, Rickie Lambert, Markovic, Emre Can, Alberto Moreno, Manquillo, Adam Lallana, Dejan Loren, Sakho dan sayangnya hasilnya malah lebih buruk. Mereka kesulitan di awal musim dan bahkan Rodgers harus menggunakan formasi 3-5-2 untuk mendapatkan kemenangan. Akibatnya, beberapa pemain diposisikan di luar posisi terbaiknya seperti Emre Can menjadi bek tengah, Sterling, Ibe, dan Markovic malah menjadi bek sayap, Rickie Lambert yang mencetak banyak gol untuk Southampton di musim sebelumnya bahkan bermain buruk. Mario Balotelli yang memiliki rasio gol per menit tertinggi di musim sebelumnya dengan AC Milan², bisa dibilang gagal di Liverpool. Beberapa keputusan aneh lainnya adalah Brendan Rodgers mengeluarkan Agger dan Reina, dimana kedua pemain tersebut sangat mahir menguasai bola, membawa bola dan mengalirkan bola ke depan. Bila sebuah tim ingin bermain penguasaan bola, maka mereka harus bisa menguasai bola dari belakang. Mignolet sebagai pengganti Reina adalah kiper yang sangat buruk dengan kedua kakinya, meskipun dia punya refleks yang luar biasa bagus. Joe Allen, anak emasnya semenjak di Swansea, bahkan tidak bersinar di Liverpool. Disini terlihat bahwa Rodgers, entah Liverpool, sangat buruk dalam pembelian pemain dan menentukan komposisi tim sesuai dengan filosofinya. Hasilnya bisa ditebak, dia tidak bisa bertahan lama. Bandingkan dengan Arsene Wenger dan Sir Alex yang selalu membeli pemain dengan filosofi gaya bermainnya, hasilnya sangat jauh berbeda. Mereka banyak yang sukses dengan pembelian pemain mereka.
Bila masih menginginkan menggunakan konsep moneyball dalam menentukan komposisi tim, mereka harus mengubah filosofi timnya. Mereka harus bermain dengan cara kebanyakan pemain bisa memainkan filosofinya. Bukan penguasaan bola. Penguasaan bola hanya cocok untuk tim yang memiliki budget tidak terbatas untuk membeli pemain bintang yang mahir menguasai bola seperti Real Madrid, Barcelona, Bayern Munchen, Manchester City, Chelsea, PSG, dll. Gaya bermain serangan balik ala Mourinho sudah mulai ditinggalkan karena tampak membosankan. Mereka bisa mencoba gaya counter pressing ala Jurgen Klopp yang sudah terbukti sukses di Dortmund. Sepakbolanya menghibur karena dimainkan dengan intensitas tinggi dan kebanyakan pemain sepakbola bisa memainkannya. Liverpool sekarang sudah merekrut Jurgen Klopp dan salah satu pembelian yang sudah terkonfirmasi adalah Marko Grujic. Marko Grujic dibeli dengan harga tergolong murah (7 juta pounds) jika dibandingkan dengan pembelian zaman Brendan Rodgers, yang harga rata-rata pemain tim utamanya adalah 20 juta pounds. Kalau kalian melihat cara bermain Marko Grujic, para pencari bakat akan tahu kalau dia akan cocok dengan gaya Klopp, bermain sangat teknis sehingga bola sulit dicuri dan sering membuat peluang serta rasio memenangkan duel sangat besar karena dia sangat tinggi 191 cm. Kemungkinan musim depan juga akan kedatangan Joel Matip, bisa didapatkan dengan gratis karena kontraknya akan habis di musim panas. Perlu disimak kedepannya apakah pembelian pemain Klopp ala moneyball akan cocok dengan filosofi tim kedepannya. Kemungkinan besar Klopp akan berhasil menggunakan konsep moneyball di Liverpool karena berpengalaman menghadirkan pemain murah yang kemudian dikembangkan menjadi bintang seperti Goetze, Reus, Lewandowski, Hummels, Subotic, dan banyak lainnya. Mereka semua menjadi bermain sesuai filosofi Klopp dan membawa timnya Juara Bundesliga. Sesuatu yang kita harapkan akan terjadi di Liverpool juga suatu hari nanti.
Referensi:
"Perlu disimak kedepannya apakah pembelian pemain Klopp ala moneyball akan cocok dengan filosofi tim kedepannya"
ReplyDeleteSaya dari masa depan dan, yeah, Klopp sukses dg moneyball nya